Karena switzerland adalah negara paling bahagia di dunia.
Adalah jawaban yang selalu saya lontarkan ketika orang-orang bertanya mengapa saya memilih Switzerland untuk ditukar dengan tahun terahir saya di SMA. Sangat abstrak, saya tahu. Tapi saya tahu pula bahwa predikat tersebut bukahlah tanpa alasan. Sayangnya
buku-buku dan laman-laman internet yang saya baca tak memberi jawaban selain : pendapatan yang tinggi sehinga mampu memenuhi kebutuhan hidup hingga tertier blablabla, keadaan lingkungan yang sehat bersih berkualitas, dan segala barometer sebuah negara dapat dikategorikan negara maju. Sangat umum. Singkatnya, bukan jawaban yang saya cari.
Setelah beberapa ratus hari menghabiskan dua puluh empat jam per tujuh hari saya bersama warga negara Switzerland, saya menemukan beberapa jawaban untuk alasan dibalik predikat tersebut. Akan saya beberkan satu kali ini. Satu yang menurut saya begitu kontras dengan kebiasaan dan pola pikir masyarakat Indonesia pada umumnya.
Adalah bagaimana mereka menyikapi dan meluangkan waktu untuk alam.
Saya pernah mendapat sebuah julukan kurang lebih seperti ini “seorang yang hidup di dunia novel”. Mengapa? Karena kebiasaan-kebiasaan yang sering saya lakukan lazimnya hanya ditemui di kehidupan yang tertulis di sebuah novel. Duduk berlama-lama memandang senja, menikmati hujan, bangun pagi-pagi hanya untuk berjalan-jalan berburu embun yang belum menetes, dan berbagai kebiasaan kecil yang terdengar bodoh di tengah lingkungan kehidupan saya dan masyarakat indonesia pada umumnya. Kebiasaan yang seharusnya tak mendapat porsi waktu di tengah keseharian seseorang seusia saya. Kebiasaan yang hanya hanya ditemui di kehidupan dalam lembaran novel.
Tak ada yang salah dengan julukan tersebut sesungguhnya, tak salah pula dengan kebiasaan kecil yang saya lakukan. Namun belakangan ini saya menyadari sebuah korelasi antara julukan tersebut dengan pola pikir masyarakat Indonesia pada umumnya. Khususnya mereka di usia produktif, yang tinggal di perkotaan dan memiliki segudang aktifitas super penting. Julukan tersebut menjadi indikator bahwa menyediakan waktu untuk alam dan hal kecil di sela kesibukan sehari-hari tidaklah tercantum pada to-do list masyarakat Indonesia pada umumnya.
Padahal justru ternyata itulah salah satu jawaban dibalik predikat negara paling bahagia di dunia yang disandang Switzerland.
Mereka benar-benar menyediakan waktu untuk menikmati alam di sekitar mereka.
Saya akan berikan contoh terkecil untuk kalimat saya diatas. Coba keluar ke hutan, lahan pertanian, bukit kecil, sungai, atau danau terdekat dari tempat anda tinggal (dalam hal ini di Switzerland). Di manapun anda tinggal di Switzerland, anda akan dengan mudah menemukan green open space atau dalam dunia tata ruang biasa disebut RTH (ruang terbuka hijau) untuk menikmati sore atau pagi hari.
Hal pertama yang akan anda temui di lokasi tersebut adalah papan berisi peta lokasi dan plang kuning bertuliskan “Wandernweg” yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia kurang lebihnya adalah ‘jalur untuk berjalan-jalan’. Tak jarang plang kuning khas tersebut bersebeahan dengan plang yang melarang kendaraan bermotor untuk masuk ke wilayah tersebut. Jenis plang tanda jalan yang seumur hidup tak pernah saya temui di indonesia. Jenis plang yang secara tersirat namun jelas menunjukan mana yang menjadi prioritas disini. Anda hanya tinggal mengikuti arah yang ditunjukan plang ini, maka jalan setapak mungil namun terawat akan menuntun anda mengelilingi sebuah danau atau hutan tanpa tersesat.
Kemudian hal kedua yang akan anda temui setelah plang kuning tersebut adalah bangku kayu bercat merah terang. Saya tak tahu pastinya bagaimana bisa jenis bangku ini selalu sama di seluruh Switzerland, entah ketentuan pemerintah, tradisi atau entah apapun alasannya. Yang jelas, anda akan menemukan sebuah bangku merah yang sangat khas di setiap ruang terbuka di Switzerland. Biasanya di sepanjang pinggiran sungai, di sekeliling danau, di sepanjang jalan setapak di tengah lahan pertanian, bahkan didalam hutan! Bukan hanya bangku merah yang anda bisa temui didalam hutan sesungguhnya. Di beberapa hutan yang pernah saya kunjungi bahkan terdapat bangku yang terususun melingkar lengkap dengan peralatan dan ruang untuk membuat bon fire.
Maka jangan terkejut jika anda diundang dalam sebuah acara barbeque oleh warga negara Switzerland. Jangan bayangkan pemanggang bari besi dan briket. Alih-alih keduanya, anda akan disibukan dengan daun-daun kering untuk menyalakan api, dan mencari ranting kayu untuk menjadi pegangan dari sosis yang akan anda panggang di perapian di tengah batu-batuan. Mengingatkan anda pada kegiatan pramuka bukan?
Sekedar informasi, di Switzerland tidak terdapat Scout (pramuka). Lagipula siapa yang butuh organisasi tersebut jika semua orang sudah paham bagaimana membuat api dan memanggang daging di tengah hutan. Di Indonesia yang pramuka menjadi kegiatan wajib saja belum tentu semua anggota pramukanya tau cara mematik api di tengah hutan. Saya misalnya.
Kembali ke bahasan sebelumnya. Plang dan peta penunjuk jalan, jalan setapak, bangku-bangku mungil bahkan perapian di tengah hutan yang saya sebutkan diatas adalah bukti bahwa ruang terbuka tersebut tak sepi dari pengunjung. Karena hal ketiga yang akan anda temui di lokasi-lokasi yang saya sebut diatas adalah manusia. Mereka dari segala usia dan segala profesi yang saya paham benar bagaimana sesungguhnya kesibukan mencekik keseharian mereka, namun masih memiliki waktu untuk berjalan-jalan keluar. Karena sejatinya saya tumbuh di tengah masyarakat yang memiliki pola pikir bahwa meluangkan waktu untuk menikmati alam bukanlah hal lazim, saya pun pernah mempertanyakan hal tersebut pada salah seorang teman saya disini. Dan jawaban yang saya dapatkan dapat dikatakan seperti sebuah tamparan
“how come? How can you say that people don’t have enough time to go out for some fresh air, while they have plenty time to think about what caption they should write for their instagram post”
Semoga jawaban teman saya tersebut mampu sedikit merubah sudut pandang kita terhadap konsep ‘waktu luang’
Pertanyaan saya tak berhenti sampai disitu sebenarnya. Bukan orang Indonesia namanya jika tak jeli menemukan sisi untuk dikritisi.
Bagaimana mau menikmati alam jika alih-alih embun pagi, justru asap kendaraan yang kita temui di pagi hari?
Saya tahu, ini pertanyaan yang akan muncul di benak sebagian besar dari kita, termasuk saya sendiri. Namun kemudian ada sebuah kejadian yang saya alami di musim gugur bulan lalu, yang secara tak langsung justru memberikan jawaban terhadap pertanyaan saya ini. Saya memposting sebuah foto di tengah hutan yang ranting-ranting pohonnya sudah samasekali tak berdaun, dan tanahnya dipenuhi dedaunan coklat yang menggunung. Ada seorang teman yang kemudian berkomentar terhadap foto tersebut
“Duh kaya gitu di Gunung Kidul juga banyak tin, gausah ke Swiss”
See? Dia mungkin tak bermaksud apa-apa ketika menulis komentar tersebut, tapi apa yang dia tulis di kolom komentar tersebut menyadarkan saya bahwa saya tengah mempertanyakan hal bodoh. Bagaimana mungkin saya bisa mengatakan bahwa tak ada ruang terbuka untuk dinikmati sementara saya tinggal di salah satu negara dengan kekayaan alam tertinggi di dunia.
Katakan saja anda seorang mahasiswa atau pelajar super sibuk yang tinggal di Kota Jogja dan butuh sedikit rehat dan udara segar. Sedikit menempuh jarak ke arah Kaliurang sejuknya hawa pegunungan sudah menyambut, atau ke arah sebaliknya maka puluhan pantai bisa menjadi alternatif pilihan untuk di tuju. Atau jika enggan keluar terlalu jauh dari kota karena lagi-lagi alasan ‘waktu luang’, sepertinya daerah-daerah Sleman pinggiran atau Bantul pun masih memiliki banyak persawahan yang terhampar luas. Jangan lupakan pula puluhan candi yang tersebar di seluruh pelosok Jogjakarta. Ini hanya satu contoh kota yang saya tahu. Namun saya yakin setiap kota di Indonesia pasti tak jauh berbeda. Buktinya muncul hastag #exporesemarang #explorebandung dan sejenisnya di sosial media. Bukti bahwa banyak hal bisa di explore bukan?
Ah, apa menariknya? Cuma sawah. Cuma candi. Tiap hari juga liat, nggak ada cantik-cantiknya. Namun jangan lupa, hutan, danau, bahkan pegunungan salju Swiss yang dimata kita begitu mempesona sebenarnya juga hal yang sangat biasa bagi warga Swiss. Mereka melihatnya setiap hari, seperti warga Jogja setiap hari melihat Gunung Merapi dan hamparan sawah di Sleman misalnya. Tapi mereka masih meluangkan waktu sorenya, menyempatkan diri untuk menikmati sesuatu yang sesungguhnya mereka temui setiap hari. Bagi mereka inilah cara menghargai diri sendiri, menghargai kehidupan sekaligus menghargai alam.
Berminat mengikuti cara penduduk di negara paling bahagia di dunia ini?
Walaupun terdengar tak cukup lazim di tengah masyarakat Indonesia, namun apa salahnya memulai perubahan dari diri sendiri. Jika belum mampu membangun negara paling bahagia di dunia, apa salahnya membangun kehidupan yang bahagia bagi diri sendiri?
p.s. artikel terkait dan lebih mendalam mengenai perubahan dimulai dari diri sendiri dapat dibaca di https://aferism.wordpress.com/2016/02/16/individualisme-perubahan-dimulai-dari-diri-sendiri/
Cerita lokasi-lokasi yang menarik thin!
SukaSuka
Izin reblog ya has. Suwun. Soalnya ini menarik dan perlu dibaca oleh banyak orang.
SukaSuka
Reblogged this on Kopi Tubruk and commented:
Ini merupakan cerita menarik yang banyak sekali pelajaran di dalamnya untuk kita ambil sebagai orang Indonesia. Intinya nikmati hidup ini dan bersyukurlah. Seperti apa yang saya tangkap dari tulisan rekan saya ini, Danesti Aulia Hastin
SukaSuka